Oleh Raskandya Putranaya
Di kota sebesar ini, pelangi berani menampakkan diri. Warna alami itu berasal dari...?! Kusarankan, pertanyaan yang belum selesai tersebut lebih baik dijawab dengan imajinasi. Imajinasi anak-anak lebih tepatnya. Sebab, tak baik bicara pelangi di kota metropolitan ini. Pantangan masyarakat. Tabu, tidak baik sekaligus tidak benar menurut KTP. Kartu yang tak perlu diragukan lagi kesaktiannya, meski kini sudah hampir kurang jelas antara apa yang menandai dan yang ditandai.
Siapa pun tahu, tabu bagi kota ini adalah segala hal yang berbau melankolis. Tabu bukan lagi permasalahan mens ataupun seks. Sebab, seks dan mens dapat menjadikan seseorang cepat dewasa.
Sedangkan sedalam-dalamnya menalar melankolis selalu saja mengembalikan diri kita ke masa lalu. Kehadiran pelangi secara tiba-tiba inilah yang membuat kedua adikku sejenak menghentikan perdebatan asmara.
Pelangi telah mengembalikan masa lalu kami. Masa lalu bersama dongeng-dongeng. Dongeng para nenek. Aku masih ingat waktu itu nenek pernah bilang bahwa pelangi adalah bando yang hilang milik seorang putri. Putri tersebut selalu menangis bila ingat bandonya.
Para abdinya mencoba menenangkan sang putri. Mereka juga meramalkan bahwa suatu saat nanti ada seorang pangeran yang akan mengembalikan bandonya. Tapi, selama bertahun-tahun menunggu, bertahun-tahun pula dia menangis. Ternyata, ramalan itu tidak juga menjadi benar.
"Kak, ada apa senyum-senyum sendiri?" adik bungsuku menegur adikku yang lain
"Nenek benar, Dik."
"Benar apanya?" Adik bungsu bertanya lagi.
"Kita telah menemukan bando putri yang hilang, maka kita bisa menjadi seorang putri."
Aku suka canda mereka. Bayangkan sebelum pelangi menampakkan diri, sebenarnya mereka banyak berdebat. Tapi, kini mereka bersahabat. Sebagai kakak tertua, aku senang melihat mereka bisa sama-sama bahagia.
Sore hari, gradasi pelangi yang datang bersama hujan hampir pergi ditelan malam. Malam nanti malam minggu. Biasanya, kedua adikku akan pergi untuk malam mingguan. Mereka berlari. Siapa pun pasti tahu ke mana arah perempuan berlari saban sore. Pasti melakukan rangkaian mandi, bersiap-siap, berdandan, dan mematut busana kencan. Lagi pula sekarang kan malam Minggu.
Aku masih berada di teras ketika mereka mandi. Suasana terasa tenang tanpa suara-suara mereka. Ketika kupandangi langit, aku tak bisa melihat pelangi lagi. Barangkali sudah terlalu lama aku melamun di teras sampai tidak kulihat di depanku ada dua putri cantik.
Mereka sudah bersiap-siap pergi, mungkin ke pesta dansa seperti Cinderella atau sekadar makan malam yang hanya diterangi lilin-lilin. Aku tidak tahu pasti. Namun, menurutku, hanya itu alasan perempuan berhias di malam Minggu. Adikku yang bungsu berangkat lebih dulu. Dia dijemput kekasihnya.
Tak berselang lama, adikku yang kedua juga berangkat. Dia juga dijemput pacarnya. Aku berpesan kepada mereka untuk hati-hati. Karena hari ini mereka tampak seperti putri, aku juga mengingatkan agar tidak meninggalkan sepatunya.
Teras semakin sepi. Dalam sepi, aku telah melupakan angan-angan masa kecil itu. Lagi pula, pelangi sudah habis dimakan malam. Aku memang tidak terlalu mengharapkan mimpi menjadi seorang pangeran karena aku benar-benar sudah senang melihat kedua adikku bisa senantiasa tersenyum manis padaku.
Aku duduk di bangku, membaca buku, begitu caraku mengalihkan pikiran tak perlu. Di luar kudengar suara mobil mendekat, ternyata, berhenti di depan pagar rumah. Itu adikku yang kedua. Dia masuk rumah dengan muka cemberut. Apa yang terjadi dengannya, padahal dia berangkat lebih awal dari adikku yang bungsu?
"Mir," aku mencegatnya di teras. "Kok sudah pulang?"
"Nanda belum pulang, Kak?" dia balik bertanya.
"Belum, emangnya kenapa?"
"Aku ingin bicara sama Nanda."
"Bicara saja sama kakak."
Mira memang lebih sering curhat dengan Nanda. Mungkin karena mereka sama-sama perempuan. Aku tahu tidak baik bila memaksanya. Aku biarkan Mira diam. Mira masuk ke dalam rumah, kemudian tak lama dia kembali ke teras. Seperti tadi, dia belum mau menceritakan masalahnya kepadaku.
"Kak," Akhirnya dia cerita juga, mungkin terlalu lama dia menunggu Nanda. Kesempatan itu kumanfaatkan sebaik-baiknya. Aku berusaha menempatkan diri sebagai sahabatnya. Pembicaraanku dengannya membuat aura kesedihan melekat jelas di wajahnya. Dia sedikit menangis.
Awalnya, tangis itu membuatku merasa bersalah. Tapi, aku tahu air mata baik untuk menghilangkan kepedihan-kepedihan. Di tengah-tengah keheningan teras dan cerita kita, aku melihat Nanda pulang. Sekarang masih jam delapan. Jam segini di kota metropolitan masih jam aktif. Aku khawatir kejadian yang menimpa Mira juga menimpanya.
"Sudah pulang Dik?" sapaku. Mira menunduk tak ingin memperlihatkan wajah sedihnya. Aku paham alasan Mira menunduk.
Nanda melangkah cepat, lalu memelukku. Aku tersentak. Mira melihat ke arah kami. "Ada apa Dik?" dia bertanya. Setelah isak tangis Nanda mereda, kami bertiga bicara. Kali ini pembicaraan di antara kami disertai pula dengan hati.
Kini aku tahu adik-adikku sedang bermasalah dengan asmara. Kali ini sisi duka mengakrabi mereka. Aku tak kuasa melihat mereka dalam keadaan seperti itu. Andai saja bisa, aku mau menggantikan posisi mereka. Sebab, bagi seorang kakak, kebahagiaan adik-adiknya paling utama.
"Dik," Mira berbicara kepada Nanda. "Ternyata pelangi yang kita lihat tadi itu bukan bando milik putri. Ternyata, kita belum menemukan bando itu."
"Ya, Kak."
Aku berusaha mementahkan anggapan itu. Aku yakin, meskipun air mata menetes di pipi mereka, aku melihat mereka tak ada berbeda dengan seorang putri. Apalagi bila mereka tersenyum seperti sebelum berangkat tadi.
Siapa pun itu akan selalu mengidamkan untuk berada di sampingnya. Aku yakin seseorang yang menyia-nyiakan mereka kini sedang meratap sesal. Mereka berpelukan.
Sepertinya, mereka salah bila mengira belum menemukan bando seorang putri yang menangis. Ceritakan saja cerita itu kepada nenek. Dia akan mengatakan, "Kakak laki-laki sudah menjadi pangeran bagi adik-adiknya.
Kedua adiknya menjelma sebagai putri di hati sang pangeran. Begitu kiranya nenek akan menutup dongeng untuk cucunya. Selain itu, nenek akan mengatakan, "Sekarang sudah malam, waktunya tidur".
Rabu, 25 Juni 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar